Friday, 25 April 2014

Sekali Lagi Katakan “Tidak Memilih Caleg Perokok”

Kategori:

Salam Mojokerto - Indonesia saat ini dalam keadaan gawat darurat dalam hal jumlah perokok. Di berbagai negara dimana angka perokok terus menurun, di Indonesia malah sebaliknya,  presentasi jumlah perokok diatas 15 tahun  terus meningkat. Sudah banyak bukti dan dengan kasat mata bahwa  perokok menemui ajalnya  akibat dari rokok tersebut. Berbagai penelitian terus membuktikan bahwa rokok menjadi penyebab berbagai penyakit.

Momen Pemilu Legislatif (PILEG) 2014 merupakan momen dimana kita bisa menekan jumlah perokok. Dengan memilih calon legislatif  (CALEG) yang tidak merokok berarti kita juga telah berupaya untuk menekan jumlah perokok. Peraturan daerah untuk mengendalikan jumlah perokok dan pengawasan atas Perda tersebut tidak akan berjalan efektif jika lembaga legislatif diisi oleh orang-orang yang merokok. Bahkan yang menyedihkan justru asap rokok mendominasi di sebagian ruang-ruang publik di lembaga legislatif tersebut.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 Kementerian Kesehatan RI yang  menunjukkan bahwa presentase perokok Indonesia diatas 15 tahun  terus meningkat. Sejauh yang saya tahu pada masa  kampanye PEMILU 2014 ini tidak ada yang menyinggung atau berusaha menyampaikan janji akan menekan jumlah perokok jika menang menjadi anggota legislatif.

Saya yakin sebenarnya hati kecil orang merokok berusaha untuk tidak merokok tetapi karena memang hidup dan kehidupan sudah dikuasai oleh rokok mereka susah melepaskan diri untuk merokok.

Pada ringkasan eksekutif dari hasil RISKESDAS 2013, jelas disebutkan bahwa perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas terus meningkat dari 2007 ke 2013. Pada tahun 2007, jumlah perokok penduduk 15 tahun keatas  di Indonesia  mencapai 34,2 dan meningkat  menjadi 36,3 persen tahun 2013. Jika melihat komposisi ternyata lebih 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan orang Indonesia masih menghisap rokok tahun 2013.

Yang menarik dari data Riskesdas bahkan  1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja, walaupun tidak mempunyai penghasilan tetap mereka tetap merokok. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang).

Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Kita tahu sebagian besar perokok pada kelompok pekerjaan dengan penghasilan yang rendah.

Mereka yang merokok yang jelas akan lebih banyak mengalami sakit dibandingkan dengan yang tidak merokok. Resiko mereka untuk mendapatkan penyakit kronis dan kanker juga lebih tinggi, dan di masa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini mereka yang sakit akibat perilaku merokok tersebut akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Negara Indonesia akan bangkrut kalau hal ini tidak dapat dikendalikan, kasihan bagi mereka yang tidak merokok, hak hidup  layak mereka akan tercampak karena jumlah para perokok yang terus meningkat.

Oleh karena itu rakyat harus bangkit untuk tidak memilih caleg yang merokok. Di lembaga pendidikan sendiri berbagai Universitas negeri sudah melarang dan menolak perusahan rokok untuk mensponsori kegiatan kemahasiswaan dan pendidikan. Bahkan mahasiswa yang merokok tidak akan mendapat beasiswa. Oleh karena itu  bukan hal yang berlebihan agar para pemilih mencantumkan kriteria “tidak merokok” sebagai salah satu tambahan atas kriteria pilihan calegnya.

Ironis memang, perokok didominasi oleh orang yang berpendidikan rendah,  orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung menghindari rokok. Begitu pula orang-orang dengan penghasilan tetap dan status ekonomi baik juga berkurang yang merokok. Salah satu hal yang membuat mereka mengurangi konsumsi rokok karena mereka bekerja di ruang-ruang tertutup dan ber AC yang membuat mereka tidak dapat merokok setiap saat di ruangan tertutup. Disisi lain tingkat pendidikan tinggi dan kesadaran akan dampak dari merokok membuat perokok pada kelompok menengah keatas ini juga berkurang.


Di sisi lain yang perlu kita simak profil para perokok Indonesia dari RISKESDAS 2010 ternyata  lebih dari 60% usia pertama kali orang merokok di Indonesia kurang dari 20 tahun. Kelompok umur 15-19 tahun merupakan kelompok yang terbesar merokok dengan angka 43,3 %. Usia ini adalah usia mereka kelas 3 SMP, SMA dan awal kuliah. Umumnya kelompok ini adalah anak baru gede (ABG) yang memulai merokok untuk menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa. Tetapi ada hal yang sangat menyedihkan bahwa ada sekitar 2,2 % orang yang mulai merokok pada masa anak-anak yaitu pada umur 5-9 tahun.  Bahkan kita juga semua tahu bahwa beberapa anak Balita kita sudah menjadi pencandu rokok.

Kita tahu juga bahwa perokok aktif ini akan menjadi masalah pada orang sekitarnya yang tidak  merokok, mereka akan membuat orang di sekitar menjadi perokok pasif dengan resiko mendapat berbagai resiko penyakit karena menghirup asap rokok tersebut.

Tampaknya kita semua sudah tahu bahwa rokok berdampak buruk bagi kesehatan cuma masalahnya bagi perokok karena sudah candu tidak mudah bagi mereka untuk meyakinkan diri untuk tidak merokok. Tampaknya mereka harus “kapok” terlebih dahulu sebelum mereka berhenti merokok. Pasien yang mengalami kanker antara lain kanker lidah, kanker kerongkongan,  kanker paru atau kanker pankreas akan menyesali kenapa mereka merokok. Serangan stroke ringan atau TIA juga kadang kala membuat kapok seorang perokok untuk tidak merokok lagi.

Sebagai dokter saya juga sering mendapatkan penyesalan dari pasien perokok setelah mengalami penyakit kronis yang membahayakan hidup dan kehidupannya. Para perokok yang mengalami hipersensitifitas pada saluran pernafasannya dimana jika mulai merokok maka akan merasakan sesak pasti tidak akan pernah untuk mencoba rokok lagi.

Dampak lain yang sebenarnya tidak diketahui oleh para perokok bahwa rokok akan menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan atas seseorang. Mereka yang merokok sering merasa begah, cepat kenyang dan kembung. Mereka umumnya tidak nafsu makan karena lambungnya sudah terasa penuh dengan hirupan asap rokok. Kondisi hipoksia kronis pada seseorang perokok juga dapat mencetuskan penurunan nafsu makan, Oleh karena itu kita sering mendengar seseorang perokok yang berhenti merokok berat badannya akan naik karena nafsu makannya bertambah atau menjadi meningkat setelah berhenti merokok.

Pada akhirnya memang bagaimana kita dapat menekan jumlah perokok di Indonesia dengan menciptakan para wakil rakyat yang tidak merokok untuk Indonesia yang lebih baik dan sejahtera karena di tangan mereka kebijaksanaan dan pengawasan pengendalian rokok dapat dilakukan.

Terakhir, saya  akan pilih CALEG bukan PARTAI, jadi buat saya bisa saja pilihan untuk caleg DPR dan DPRD saya bukan dari satu partai, karena memang saya “Tidak pilih partai tapi pilih Caleg”.

Selamat milih dan berdoa bangsa ini akan lebih baik setelah PEMILU 2014 ini.

Salam sehat,

Dr.Ari Fahrial Syam
Dosen dan praktisi kesehatan

0 komentar:

Post a Comment